“Saya ikutin dia, Om!”
– Anak Jalanan di Jalanan, Cilegon –
Aku duduk di lobby sebuah Mall di Cilegon. Seperti biasa, kalau menunggu teman, menunggu taksi, ataupun melepas lelah setelah Mallwalking sebelum naik angkot silver, aku duduk di depan Mall ini. Seperti biasa juga, belum ada satu menit duduk, selalu datang anak-anak berpenampilan dekil bin kumel, meminta uang. "Om, buat makan om…!" Bukan cuma aku saja yang diminta. Semua orang yang terlihat, pasti didekati dan diminta. Om, tante, bapak, ibu, kakak, mbak, teteh, semua kebagian jatah untuk bersedekah.
Ada yang memberi limaratus ataupun seribu rupiah. Bahkan ada juga yang tega ngasih nope alias kepingan duaratus rupiah. Walau ada juga yang tidak memberi sama sekali. Aku sendiri kadang memberi, kadang tidak.
Salah seorang dari mereka asyik menghitung penghasilannya. "Dapat berapa hari ini?" tanyaku mencoba ramah. "Lumayan om, tigapuluh enamribu!" jawabnya tanpa memandangku.
Hebat, belum sore saja sudah dapat segitu. "Memang dari jam berapa kamu minta-minta?" tanyaku lagi.
Yang menjawab bukan yang tadi menghitung penghasilan, tetapi temannya yang perempuan, "Kalau saya sih dari jam 10 om, baru dapat delapanribu. Tambahin dong om…" memelas.
"Kata orang-orang, kalian harus setoran ya ke preman di sini. Benar nggak sih?"
"Siapa bilang, om? Nggak sih. Paling-paling dipalak!"
"Rumah kalian dimana?"
"Sekitar sini!"
"Orang tua masih ada?"
"Masih…"
"Mereka tahu kamu cari uang seperti ini?"
"Tahu…"
"Tidak dimarahi?"
"Nggak lah, kan dapat duit, om!"
"Kalian sekolah?"
Ada yang jawab ya, mengangguk, dan ada pula yang menggelengkan kepala.
"Cita-cita kamu apa?"
Ada yang nyengir memamerkan giginya yang sepertinya tidak pernah disikat. Ada yang mau jadi guru, pemain bola, dan yang kaos oranye katanya mau jadi "Peterpan". Mungkin maksudnya jadi anak band, bukan jadi tokoh dongeng Peterpan.
"Memang bisa nyanyi?" kupancing dia untuk menyanyikan sebuah lagu. "Lagu anak-anak ya, nanti saya kasih seribu!"
Mulailah dia bernyanyi…. " Mungkinkah bila kubertanya…. pada bintang-bintang…."
"Ah itu sih, bukan lagu anak-anak! Itu lagunya Peterpan!" Protesku sambil tertawa.
"Ini lagu anak-anak om. Anak-anak sini lagunya gitu. Kan mau jadi Peterpan!"
"Lagu lainnya?"
"Lailailailailai…. Panggil aku si Jablai…"
"Astaghfirullah, itu lagu anak-anak sini juga?" Bocah perempuan yang barusan nyanyi nyengir kuda.
"Uang yang kalian dapat ditabung tidak?" setelah rasa bosan menunggu menyerangku.
"Ada dong! Kalo dapat banyak, ada yang ditabung, jajan, kasih emak, beli maenan…" Banyak juga pemanfaatan dari pendapatan mereka.
“Pernah tidak dapat sama sekali?” tanyaku
“Belum pernah, om. Kalau tidak banyak, ya paling sedikit…”
“Sedikitnya berapa, sih?” aku ingin tahu standar pendapatan terendah menurut mereka sendiri.
“Limaribu, om!” Jawab si “Peterpan”.
“Limaribu, lumayan dong. Bukannya kecil.”
“Zaman sekarang sih, limaribu kecil, om!” protesnya.
“Memang orang tua kalian tidak memberi uang jajan?” aku ingin tahu hubungan mereka dengan orang tuanya. Rata-rata menjawabnya dengan menggelengkan kepala.
“Orang tua kalian bekerja?” Rata-rata menjawab dengan menganggukkan kepala.
“Kalian tidak malu ketahuan teman-teman sekolah, kalau ketahuan mencari uang dengan cara seperti ini?”
“Saya saja ikutin dia, om!” yang perempuan menunjuk ke salah satu temannya.
“Saya juga ikutin dia, om!” yang ditunjuk menunjuk temannya yang lain. Hm… aku sadari, ternyata mereka hanya ikut-ikutan saja.
“Kalau kamu mulai dari jam sepuluh pagi, sampai sore begini, sekolahnya jam berapa?” tanyaku kepada yang perempuan. Sejujurnya, aku tak percaya kalau dia masih sekolah.
“Sekarang sudah tidak sekolah, om!” katanya rada gugup.
“Tadi kamu bilang, cari uang seperti ini buat bayar sekolah juga. Padahal, sekolah sekarang kan gratis. Lalu kamu bilang buat makan, padahal tadi kamu bilang orang tuamu bekerja juga. Jadi yang benar bagaimana?” aku mencoba menelusuri jawabannya.
Ia tidak menjawab, malah meninggalkanku yang masih ingin bertanya. Teman-temannya pun lantas mengikuti jejaknya, menghindariku.
Begitulah anak-anak Indonesia yang kutemui di jalanan. Yang selalu meminta-minta dengan dalih buat makan. Entah, yang mana dari pernyataan mereka yang benar. Apakah benar orang tuanya bekerja, atau tidak, sekolah atau tidak, kelaparan atau tidak, atau bisa jadi hanya ikut-ikutan sehingga keenakan karena begitu mudahnya mendapatkan uang dengan cara mengiba.
Terlepas dari keberanian mereka dalam menjalani kehidupannya yang keras, tetap saja aku merasa prihatin, karena anak sekecil itu sudah terbiasa berbohong. Apakah itu hasil dari pendidikan nasional kita? Hal ini mestinya menjadi inspirasi bagi pihak-pihak yang berwenang mengurusi mereka. Tak inginkah kita, mengubah nasib mereka?