Cari

Abdul Hamid

Abdul Hamid
veteran dari kroya

Ponaryo

Ponaryo
tukang becak

Anak Jalanan

Anak Jalanan
Pengiba Rupiah

Wanti

Wanti
tukang jamu gendong

Anak Indonesia di Jalan

Senin, 09 Agustus 2010

“Saya ikutin dia, Om!”
– Anak Jalanan di Jalanan, Cilegon –

Aku duduk di lobby sebuah Mall di Cilegon. Seperti biasa, kalau menunggu teman, menunggu taksi, ataupun melepas lelah setelah Mallwalking sebelum naik angkot silver, aku duduk di depan Mall ini. Seperti biasa juga, belum ada satu menit duduk, selalu datang anak-anak berpenampilan dekil bin kumel, meminta uang. "Om, buat makan om…!" Bukan cuma aku saja yang diminta. Semua orang yang terlihat, pasti didekati dan diminta. Om, tante, bapak, ibu, kakak, mbak, teteh, semua kebagian jatah untuk bersedekah.
Ada yang memberi limaratus ataupun seribu rupiah. Bahkan ada juga yang tega ngasih nope alias kepingan duaratus rupiah. Walau ada juga yang tidak memberi sama sekali. Aku sendiri kadang memberi, kadang tidak.
Salah seorang dari mereka asyik menghitung penghasilannya. "Dapat berapa hari ini?" tanyaku mencoba ramah. "Lumayan om, tigapuluh enamribu!" jawabnya tanpa memandangku.
Hebat, belum sore saja sudah dapat segitu. "Memang dari jam berapa kamu minta-minta?" tanyaku lagi.
Yang menjawab bukan yang tadi menghitung penghasilan, tetapi temannya yang perempuan, "Kalau saya sih dari jam 10 om, baru dapat delapanribu. Tambahin dong om…" memelas.
"Kata orang-orang, kalian harus setoran ya ke preman di sini. Benar nggak sih?"
"Siapa bilang, om? Nggak sih. Paling-paling dipalak!"
"Rumah kalian dimana?"
"Sekitar sini!"
"Orang tua masih ada?"
"Masih…"
"Mereka tahu kamu cari uang seperti ini?"
"Tahu…"
"Tidak dimarahi?"
"Nggak lah, kan dapat duit, om!"
"Kalian sekolah?"
Ada yang jawab ya, mengangguk, dan ada pula yang menggelengkan kepala.
"Cita-cita kamu apa?"
Ada yang nyengir memamerkan giginya yang sepertinya tidak pernah disikat. Ada yang mau jadi guru, pemain bola, dan yang kaos oranye katanya mau jadi "Peterpan". Mungkin maksudnya jadi anak band, bukan jadi tokoh dongeng Peterpan.
"Memang bisa nyanyi?" kupancing dia untuk menyanyikan sebuah lagu. "Lagu anak-anak ya, nanti saya kasih seribu!"
Mulailah dia bernyanyi…. " Mungkinkah bila kubertanya…. pada bintang-bintang…."
"Ah itu sih, bukan lagu anak-anak! Itu lagunya Peterpan!" Protesku sambil tertawa.
"Ini lagu anak-anak om. Anak-anak sini lagunya gitu. Kan mau jadi Peterpan!"
"Lagu lainnya?"
"Lailailailailai…. Panggil aku si Jablai…"
"Astaghfirullah, itu lagu anak-anak sini juga?" Bocah perempuan yang barusan nyanyi nyengir kuda.
"Uang yang kalian dapat ditabung tidak?" setelah rasa bosan menunggu menyerangku.
"Ada dong! Kalo dapat banyak, ada yang ditabung, jajan, kasih emak, beli maenan…" Banyak juga pemanfaatan dari pendapatan mereka.
“Pernah tidak dapat sama sekali?” tanyaku
“Belum pernah, om. Kalau tidak banyak, ya paling sedikit…”
“Sedikitnya berapa, sih?” aku ingin tahu standar pendapatan terendah menurut mereka sendiri.
“Limaribu, om!” Jawab si “Peterpan”.
“Limaribu, lumayan dong. Bukannya kecil.”
“Zaman sekarang sih, limaribu kecil, om!” protesnya.
“Memang orang tua kalian tidak memberi uang jajan?” aku ingin tahu hubungan mereka dengan orang tuanya. Rata-rata menjawabnya dengan menggelengkan kepala.
“Orang tua kalian bekerja?” Rata-rata menjawab dengan menganggukkan kepala.
“Kalian tidak malu ketahuan teman-teman sekolah, kalau ketahuan mencari uang dengan cara seperti ini?”
“Saya saja ikutin dia, om!” yang perempuan menunjuk ke salah satu temannya.
“Saya juga ikutin dia, om!” yang ditunjuk menunjuk temannya yang lain. Hm… aku sadari, ternyata mereka hanya ikut-ikutan saja.
“Kalau kamu mulai dari jam sepuluh pagi, sampai sore begini, sekolahnya jam berapa?” tanyaku kepada yang perempuan. Sejujurnya, aku tak percaya kalau dia masih sekolah.
“Sekarang sudah tidak sekolah, om!” katanya rada gugup.
“Tadi kamu bilang, cari uang seperti ini buat bayar sekolah juga. Padahal, sekolah sekarang kan gratis. Lalu kamu bilang buat makan, padahal tadi kamu bilang orang tuamu bekerja juga. Jadi yang benar bagaimana?” aku mencoba menelusuri jawabannya.
Ia tidak menjawab, malah meninggalkanku yang masih ingin bertanya. Teman-temannya pun lantas mengikuti jejaknya, menghindariku.
Begitulah anak-anak Indonesia yang kutemui di jalanan. Yang selalu meminta-minta dengan dalih buat makan. Entah, yang mana dari pernyataan mereka yang benar. Apakah benar orang tuanya bekerja, atau tidak, sekolah atau tidak, kelaparan atau tidak, atau bisa jadi hanya ikut-ikutan sehingga keenakan karena begitu mudahnya mendapatkan uang dengan cara mengiba.
Terlepas dari keberanian mereka dalam menjalani kehidupannya yang keras, tetap saja aku merasa prihatin, karena anak sekecil itu sudah terbiasa berbohong. Apakah itu hasil dari pendidikan nasional kita? Hal ini mestinya menjadi inspirasi bagi pihak-pihak yang berwenang mengurusi mereka. Tak inginkah kita, mengubah nasib mereka?

Bermain Sambil Bekerja


Cari sampah sekalian main, pak. Nggak terasa, dapat duit.
– Ujang, Pemulung, Cinangka –


Biasanya aku melihat bocah ini sedang bermain di sekitar lingkungan rumahku di Anyer. Tapi kali ini mereka berdua agak berbeda. Aku penasaran dengan karung yang digendongnya. Apa isinya?
“Cari apa kamu?” aku bertanya kepada Ujang, salah satu dari bocah itu karena aku tahu, bocah yang satunya lagi bisu (tuna wicara).
“Sampah, pak.” Jawabnya
“Sampah apa saja? Lalu dijual kemana?”
“Plastik atau kardus, pak. Dijual di lapak, pak”
“Lapak limbahnya dimana?”
“Dekat pak, baru seminggu, pak. Makanya kita sekarang cari sampah biar dapat duit, pak.”
“Tapi kalian tetap sekolah, kan?” tanyaku.
“Tetap, pak. Kita tetap sekolah, tapi pulang sekolah, cari sampah.” Jawabnya.
“Jadi nggak sempat main dong.”
“Kan, cari sampah sekalian main, pak. Nggak terasa, dapat duit.” Jawaban yang tak kuduga.
“Baguslah kalau begitu. Semoga dapat banyak deh kalian!” doaku untuk mereka.
Sambil main, merekapun mencari uang. Ini patut kita contoh. Seorang anak kecil saja bisa bermain sambil bekerja. Asal jangan terbalik menerapkannya, bekerja sambil bermain. Seperti yang pernah aku lihat di beberapa kantor. Ada beberapa pegawai yang sibuk menyelesaikan solitaire di komputer kantornya, saat jam kerja masih berlangsung.
Ada saja peluang usaha yang bisa kita dapatkan asal kita mau melakukan. Ya, intinya adalah mau melakukan. Tidak semua anak Indonesia mau menjadi pemulung sampah dari rumah ke rumah. Tapi bagi kedua bocah itu, yang penting mereka bisa mendapatkan uang dari hasil kerja keras mereka. Mudah sekali bagi Tuhan dalam memberikan jalan bagi hambanya untuk mendapatkan rezeki. Tinggal kita sendiri, mau atau tidak menjalaninya. 

Plastic Boy


Kata bibi, kalau sudah mati, di akhirat nanti, pengemis itu mukanya rata!

– Udi, Pengecer Plastik, Cibodas –

Dari tadi anak kecil itu mengikutiku terus. Tak pernah berhenti menawarkan, "plastik, plastik…!" kadang dia memelas, "tolong pak, beli plastik saya pak… tolong pak, satu aja pak!" kadang dia mengelap ingus dengan lengan kanannya, srooot… Tapi dia lebih banyak senyumnya ketika aku tatap. Itulah si Udi. Kenalanku waktu liburan ke Cibodas kemarin.
Udi, begitu dia jawab ketika kutanya namanya. Setiap hari menjadi pengecer kantong plastik atau temannya se-karier menyebutnya jinjingan. Jadilah aku ngobrol dengan Udi, saat jalan-jalan di parkiran KRC (Kebun Raya Cibodas). Menunggu teman-teman yang sibuk berbelanja.
"Satu jinjingan kamu jual berapa?"
"Seribu, pak, murah pak!" dia pikir aku mau membeli jinjingannya
"Kamu jualan setiap hari di sini?"
"Iya pak, kan setiap hari kita harus makan." cerdas juga jawabannya.
"Sehari bisa dapat duit berapa?"
"Kalo lumayan sih, bisa sampe 30 rebu" sambil mengelap ingus dengan lengannya.
Memang lumayan sih, berarti ada 30 plastik yang dibeli orang, pikirku. Kalau pengunjung ramai, maka para penjual juga ramai. Begitu juga dengan plastic boys, seperti Udi dan teman-temannya. Mereka sangat berharap agar tempat wisata ini ramai terus. Menurut info yang aku dapat di loket, dalam sebulan, pengunjung KRC bisa mencapai sejuta orang.
"Hari ini sudah dapat berapa, Di?" tanyaku lagi
"Baru 4 rebu, pak. Makanya Bapak beli dong!"
"Saya nggak belanja apa-apa. Kamu sekolah, Di?"
"Sekolah pak, kelas 5, eh, sekarang mah kelas 6."
"Orang tua kamu kerja?"
"Udah meninggal, pak!"
"Kamu tinggal sama siapa sekarang?"
"Bibi, yang tadi bapak minta air panas buat bikin kopi, itu bibi saya!"
"Ooo… saya senang sekali bisa ngopi, karena dapat air panas dari bibimu.”
“Saya senang melihat kamu seperti ini. Tidak mengamen atau mengemis di jalanan.”
“Wah, kalo ngamen saya malu, pak. Nggak bisa nyanyi. Kalo ngemis, takut.”
“Koq takut? Takut sama siapa?”
“Kata bibi, kalau sudah mati, di akhirat nanti, pengemis itu mukanya rata!” kata Udi mengulang nasihat bibinya.
“Bibi bilang begitu?” Entah sahih atau tidak, tapi aku setuju dengan cara bibinya Udi mencegah keponakannya yang yatim piatu agar tak mengemis.
“Benar, pak!” sahut Udi. Ingusnya kembali meleleh. Lengannya kembali mengelapnya.
“Eh, Di, mending kamu ke sana!" Aku menepuk pundak Udi dan menunjuk ke arah penjual sayur mayur yang dijejali oleh pembeli. Kebanyakan ibu-ibu bawa anak. Pasti mereka butuh bantuan Udi, pikirku.
"Wah iya tuh, pak!" Udi melesat menuju kerumunan itu. Seperti melayang, cepat sekali ia sudah sampai di tempat itu, mendekati orang-orang yang membutuhkan jinjingan. Dari kerumunan itu Udi memicingkan matanya ke arahku dan memberikan aku jempol. Alhamdulillah, sepertinya dagangannya laku di kerumunan itu.
Itulah Udi, kenalanku di KRC. Ialah salah satu anak Indonesia yang, walaupun yatim piatu, tetap survive, masih mau berusaha secara normal. Banyak anak-anak seusia Udi yang kutemui di jalan. Namun mereka lebih memilih untuk mengemis atau mengamen dengan gaya mengemis. Melihat mereka, hatiku pedih. Tapi melihat Udi, aku bangga dan bahagia. Aku hanya bisa berharap, anak-anak jalanan yang kadang meresahkan penumpang dan pengendara, mau melakukan pekerjaan lain yang tidak meresahkan orang lain. Seperti Udi, Plastic Boy yang jelas-jelas yatim piatu. Namun untuk mengamen, ia malu. Apalagi mengemis, ia takut.

Bangun Pagi, Dapat Rezeki

Minggu, 08 Agustus 2010


Kalau nggak bangun gelap-gelap, mana kebagian, pak!
– Jamal, Pemburu Durian, Serang –

Masih pukul 05:15 Pagi. Di seberang rumahku, tepat di pinggir jalan menuju halamanku, duduk dua anak kampung setempat. Sepertinya mereka sedang melepas lelah. Biasanya pada musim durian seperti sekarang ini, mereka berkeliaran di hutan bahkan sejak matahari belum mengintip.
Aku tak tahan jika hanya memperhatikan mereka dari jendela kamarku. Akupun beranjak dan mendekati mereka. Dua anak kampung memperhatikan langkahku menuju mereka. Mereka sepertinya tahu, kalau aku mendekati karena satu hal : Durian!
Merekapun berusaha menutupi durian buruannya dengan kain sarung yang sebelumnya diselempangkan di bahu. Dalam penglihatanku, ada enam buah durian yang lumayan besar. Melihat gelagatnya, sepertinya mereka khawatir kalau aku akan meminta durian mereka dengan paksa.
Memang, kadang-kadang ada saja orang yang lebih tua dari mereka, memalak (meminta dengan paksa) hasil buruan mereka. Sebelum mendekat, aku sengaja mengambil uang dari kantong, seolah-olah memeriksa. Lalu kumasukkan lagi. Sepertinya mereka memahami maksud kedatanganku. Raut wajah merekapun berubah. Sepertinya mereka yakin, aku tidak akan memalak, malah akan membeli durian jatuhan hasil buruan mereka.
“Buat dimakan di rumah?” Tanyaku kepada mereka.
“Nggak, pak. Buat dijual.” Jawab Jamal, bocah yang paling besar memperlihatkan hasil buruannya yang paling besar.
“Dijual kemana?”
“Di sekitar sini saja. Ini kan hari minggu, banyak tamu dari Jakarta yang ke sini.” hebat sekali naluri bisnis bocah ini. Dia sudah hapal benar kapan kampung ini dikunjungi orang-orang kaya dari berbagai kota, walaupun mereka menganggapnya hanya dari Jakarta saja.
“Berarti kalian sudah di hutan ini sejak masih gelap, dong? Apa nggak ngantuk?” tanyaku
“Kalau nggak bangun gelap-gelap, mana kebagian, pak!” Jawab Jamal.
“Tadi sih, nggak ngantuk. Tapi sekarang ngantuk…” kata yang lainnya.
“Memang bisa tidak kebagian?” tanyaku.
“Yang mencari durian jatuhan, bukan cuma kita saja, pak. Banyak!” Jawab Jamal.
“Anak mana saja yang ikutan mencari durian?”
“Anak kampung sini juga, pak. Teman-teman kita juga.”
“Sekarang dapat berapa?” tanyaku sambil menatapi kain sarung berisi durian.
“Enam, pak. Sedikit.”
“Memang kalau lebih dari enam, bisa bawanya?” Selintas, kupikir mereka memang sengaja bawa enam tak mungkin dua anak bisa membawa lebih dari enam butir. Tapi ternyata lintasan pikiranku salah, karena berapa butirpun bisa mereka bawa, karena mereka mempunyai kain sarung sebagai alat untuk membawa lebih banyak dari kapasitas normal per orang. “Kenapa tidak pakai karung, bukannya lebih mudah?” tanyaku lagi.
“Lebih enak pakai sarung dari pada karung.” Jawab Jamal.
“Karung susah digemblok!” Balas yang lainnya.
“Berapa harga satu butir?” Tanyaku.
“Pertama kita kasih harga lima belas ribu,pak!”
“Akhirnya, kamu lepas berapa?” tanyaku.
“Kalau yang nawar jago, paling kita lepas delapan ribu. Tapi maunya kita sih, paling murah sepuluh ribu.” Jamal menjelaskan.
“Ada yang menawar lebih murah dari delapan ribu?”
“Banyak, pak. Ibu-ibu kalau nawar bisa lima ribu per buah.”
“Kamu kasih, nggak?” tanyaku menguji
“Ya nggak lah. Kalo lima ribu, capeknya nggak terbayar, dong.” Alasannya.
“Ya, sudah. Saya minta dua buah. Ini uangnya!” Aku berikan selempar uang duapuluh ribu Rupiah, dan memilih dua buah durian yang menurut perkiraanku paling pas untuk dimakan siang nanti bersama teman-teman.
Inilah hasil bumi persembahan Tuhan. Setiap musim durian, penghuni kampung Cihideung desa Bantarwaru, Serang, selalu menembus kabut fajar untuk memburu durian jatuhan. Ada yang untuk dimakan, ada pula yang untuk dijual. Seperti anak-anak yang kutemui pagi ini.
Tak berapa lama, datanglah tamu yang diharapkan. Sekali transaksi, mereka berhasil menjual 3 butir durian dengan harga limabelas ribu per butir. Hebat! Cahaya matahari pagi masih lembut, udara pagi masih terasa dingin, anak-anak ini sudah menerima rezeki hasil dari usahanya sendiri. Rp.65.000,- sudah dikantong mereka!
Bocah-bocah kampung ini memiliki jiwa entrepreneur yang baik sekali. Mereka sudah memulai bisnisnya sejak matahari belum menampakkan diri. Menembus kabut, menelusuri hutan untuk mencari rezeki. Merekalah anak Indonesia yang inspiratif bagi bangsa ini. Terutama bagi remaja yang masih bermalas-malasan.
Orang-orang yang masih bertahan sebagai pengangguran mestinya mendapatkan pelajaran dari naluri bisnis bocah-bocah kampung ini. Bisa jadi di sekitar kita ada peluang usaha, namun kita tak pernah mau berpikir untuk mencarinya. Atau, bisa jadi kita masih enggan untuk bangun pagi. Kata orang tua kita dulu, kalau kita bangun kesiangan, maka rezeki kita dipatok ayam. Kita yang masih belum memiliki pekerjaan, siapkah bangun pagi seperti bocah-bocah kampung ini? [MT]
 

2009 ·guru kehidupan by TNB