Cari

Abdul Hamid

Abdul Hamid
veteran dari kroya

Ponaryo

Ponaryo
tukang becak

Anak Jalanan

Anak Jalanan
Pengiba Rupiah

Wanti

Wanti
tukang jamu gendong

Wanti : Tantangan Penyedia Jamu Gendong

Minggu, 27 Desember 2009

“Dari pada saya pulang setiap bulan, mendingan uangnya saja yang dikirim ke kampung.”

- Wanti, Penjaja Jamu, Merak Banten -



Hampir satu jam aku di Ferry yang akan menyebrangkanku dari Merak ke Bakauheni. Urat-urat badanku terasa ngilu. Mungkin karena sejak awal aku asyik menikmati lautan selat Sunda ini dari Dek. Sementara angin senja begitu besar. Tiba-tiba aku teringat, sepertinya beberapa menit lalu ada seorang tukang jamu yang melintasiku. Kemanakah gerangan dia?
Aku mencarinya ke arah parkiran truk. Biasanya tukang jamu paling berharap dengan rezeki supir truk. Mereka malah menjadi seperti langganan tetap. Benar saja. Aku menemukannya sedang memberikan segelas jamu kepada salah seorang supir truk. Akupun memesan jamu anti masuk angin, dicampur telur bebek, cairan brotowali yang amat pahit dan sedikit pemanis.
“Ndak sekalian pake urat madu, mas?” tanyanya dengan gaya bicara Jawa yang lemah lembut.
“Urat madu? apa itu?” aku benar-benar tak mengerti. Dalam kepalaku ketika mendengarnya adalah urat dari cairan madu. Tapi benakku sendiri menolak, masak sih madu ada uratnya…
“Ini lho, kapsul urat madu. Bisa bikin kuat dan tahan lama.”
“Bisa buat charger hape, dong!” candaku.
“Bukan buat hape, tapi buat begini, lho!” ia mengepalkan tangannya. Ibu jarinya dijepit antara jari telunjuk dan jari tengah. Lalu ia menjelaskan tentang khasiat kapsul tersebut sekali lagi, mulai dari A sampai Z. mulai dari urusan ereksi sampai durasi. “Murah, mas. Cuma 25 ribu perbungkus. Isinya 2 kapsul.” Begitu akhir penjelasannya.
“Memang kapsul seperti itu banyak peminatnya?” tanyaku kepada mbak Wanti yang menyimpan kembali sebungkus kapsul urat madu karena mengerti kalau aku tak berminat.
“Banyak juga. Biasanya supir yang suka pesan.”
“Untuk mereka pakai dimana? Di kapal ini?”
“Ada yang di sini, ada juga yang di luar. Namanya juga supir, suka mampir.” Mbak Wanti mesem-mesem. Walaupun aku tak percaya sepenuhnya. Karena temanku juga supir, dan ia adalah suami yang setia kepada istrinya.
“Suka digodain nggak, mbak?”
“Ya sering”
“Dilayani nggak?”
“Kadang dilayani, ya kadang ndak. Lha namanya juga orang jualan.” Ia menceritakan pula pengalaman teman-teman seprofesinya yang kadang tak bisa menolak ketika dipaksa kencan oleh lelaki yang birahinya sudah diujung kepala. Tapi baginya, kalau hanya sekedar bercengkrama saja, tak masalah.
“Sudah berkeluarga, mbak?” kupotong ceritanya karena kurang tertarik untuk membahasnya.
“Suami saya di Jawa jadi petani. Anak saya baru 1, baru masuk SMP.” Lalu mbak Wanti berkisah tentang kehidupannya dengan suami dan anaknya ketika ia masih di Solo.
“Tiap bulan pulang, mbak?”
“Si mas ini… bikin saya jadi kepingin pulang kampung saja.” Merenung. Entah merenungi nasib keluarganya atau nasibnya di atas kapal penyebrangan ini.
“Pulangnya seberapa sering, mbak?” tanyaku lagi.
“Tidak setiap bulan, mas.”
“Lho, katanya kangen. Koq tidak setiap bulan?” tanyaku.
“Mas ini nggak ngerti nasib orang kecil.” Sanggahnya.
“Maksudnya bagaimana, mbak? Saya benar-benar nggak ngerti koq.” Ungkapku.
“Penghasilan tukang jamu, ndak besar, mas. Dari pada saya pulang setiap bulan, mendingan uangnya saja yang dikirim ke kampung.” Begitu penjelasannya.
“Oh, begitu… saya mengerti, mbak.” Sahutku. Dan iapun tersenyum.
“Uangnya dikirim pake wesel atau ditrasfer lewat bank?” tanyaku lagi.
“Hihihi… si mas ini, saya ndak punya bank, mas!” maksudnya pasti tidak punya account di bank.
“Berarti pakai wesel ya, mbak?”
“Ndak! Kan setiap bulan ada teman-teman sekampung yang suka bawa truk juga. Atau ada juga teman-teman jamu yang mau pulang. pokoknya siapa saja. Nah, uang itu saya titipkan.”
“Yakin uang itu bakal sampai ke rumah di kampung?” justru aku yang tak yakin.
“Yakin, mas. Lha wong dari dulu, kita ini sering begitu. Orang-orang sekampung itu saling percaya, mas. Ndak seperti orang kota.” Jawabnya penuh keyakinan.
“Cara nge-ceknya gimana, kalau uang itu yakin sampai?” selidikku.
“Ndak usah di cek, mas! Pokoknya kalau sesama orang sekampung, pasti percaya!” ia tetap bertahan pada keyakinannya.
“Hebat! Bisa saling percaya seperti itu.” Pujiku.
“Yach, yang namanya orang kampung, sederhana saja, mas. Kalau yang namanya titipan, pasti sampai. Karena kalau tidak sampai, ndak bakalan dipercaya lagi. Malu dengan orang sekampung.”
Kehidupan yang keras buat mbak Wanti yang lemah lembut. Ia mengorbankan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk menghidupi anaknya. Tidak jarang ia dikira mau-mau saja melayani lelaki hidung belang. Bagi mbak Wanti, resiko pekerjaannya memang seperti itu, dikira perempuan gampangan. Memang ada beberapa teman seprofesinya yang tak bisa menolak bujuk paksa lelaki iseng. Tapi tidak baginya. Ia selalu kuat untuk menghindari segala hal yang bisa merusak nilai perjuangan hidupnya.
Setiap pekerjaan memang memiliki resiko. Begitupun dengan pekerjaan kita, dimana saja kita bekerja, selalu saja ada godaan untuk melakukan hal-hal yang asusila. Kita bisa belajar dari keteguhan hati seorang penjual jamu, untuk tetap berjuang bagi mereka yang dicintainya di rumah.[MT]

1 komentar:

depz mengatakan...

inspiring

14 September 2010 pukul 13.33

Posting Komentar

 

2009 ·guru kehidupan by TNB