Cari

Abdul Hamid

Abdul Hamid
veteran dari kroya

Ponaryo

Ponaryo
tukang becak

Anak Jalanan

Anak Jalanan
Pengiba Rupiah

Wanti

Wanti
tukang jamu gendong

Bangun Pagi, Dapat Rezeki

Minggu, 08 Agustus 2010


Kalau nggak bangun gelap-gelap, mana kebagian, pak!
– Jamal, Pemburu Durian, Serang –

Masih pukul 05:15 Pagi. Di seberang rumahku, tepat di pinggir jalan menuju halamanku, duduk dua anak kampung setempat. Sepertinya mereka sedang melepas lelah. Biasanya pada musim durian seperti sekarang ini, mereka berkeliaran di hutan bahkan sejak matahari belum mengintip.
Aku tak tahan jika hanya memperhatikan mereka dari jendela kamarku. Akupun beranjak dan mendekati mereka. Dua anak kampung memperhatikan langkahku menuju mereka. Mereka sepertinya tahu, kalau aku mendekati karena satu hal : Durian!
Merekapun berusaha menutupi durian buruannya dengan kain sarung yang sebelumnya diselempangkan di bahu. Dalam penglihatanku, ada enam buah durian yang lumayan besar. Melihat gelagatnya, sepertinya mereka khawatir kalau aku akan meminta durian mereka dengan paksa.
Memang, kadang-kadang ada saja orang yang lebih tua dari mereka, memalak (meminta dengan paksa) hasil buruan mereka. Sebelum mendekat, aku sengaja mengambil uang dari kantong, seolah-olah memeriksa. Lalu kumasukkan lagi. Sepertinya mereka memahami maksud kedatanganku. Raut wajah merekapun berubah. Sepertinya mereka yakin, aku tidak akan memalak, malah akan membeli durian jatuhan hasil buruan mereka.
“Buat dimakan di rumah?” Tanyaku kepada mereka.
“Nggak, pak. Buat dijual.” Jawab Jamal, bocah yang paling besar memperlihatkan hasil buruannya yang paling besar.
“Dijual kemana?”
“Di sekitar sini saja. Ini kan hari minggu, banyak tamu dari Jakarta yang ke sini.” hebat sekali naluri bisnis bocah ini. Dia sudah hapal benar kapan kampung ini dikunjungi orang-orang kaya dari berbagai kota, walaupun mereka menganggapnya hanya dari Jakarta saja.
“Berarti kalian sudah di hutan ini sejak masih gelap, dong? Apa nggak ngantuk?” tanyaku
“Kalau nggak bangun gelap-gelap, mana kebagian, pak!” Jawab Jamal.
“Tadi sih, nggak ngantuk. Tapi sekarang ngantuk…” kata yang lainnya.
“Memang bisa tidak kebagian?” tanyaku.
“Yang mencari durian jatuhan, bukan cuma kita saja, pak. Banyak!” Jawab Jamal.
“Anak mana saja yang ikutan mencari durian?”
“Anak kampung sini juga, pak. Teman-teman kita juga.”
“Sekarang dapat berapa?” tanyaku sambil menatapi kain sarung berisi durian.
“Enam, pak. Sedikit.”
“Memang kalau lebih dari enam, bisa bawanya?” Selintas, kupikir mereka memang sengaja bawa enam tak mungkin dua anak bisa membawa lebih dari enam butir. Tapi ternyata lintasan pikiranku salah, karena berapa butirpun bisa mereka bawa, karena mereka mempunyai kain sarung sebagai alat untuk membawa lebih banyak dari kapasitas normal per orang. “Kenapa tidak pakai karung, bukannya lebih mudah?” tanyaku lagi.
“Lebih enak pakai sarung dari pada karung.” Jawab Jamal.
“Karung susah digemblok!” Balas yang lainnya.
“Berapa harga satu butir?” Tanyaku.
“Pertama kita kasih harga lima belas ribu,pak!”
“Akhirnya, kamu lepas berapa?” tanyaku.
“Kalau yang nawar jago, paling kita lepas delapan ribu. Tapi maunya kita sih, paling murah sepuluh ribu.” Jamal menjelaskan.
“Ada yang menawar lebih murah dari delapan ribu?”
“Banyak, pak. Ibu-ibu kalau nawar bisa lima ribu per buah.”
“Kamu kasih, nggak?” tanyaku menguji
“Ya nggak lah. Kalo lima ribu, capeknya nggak terbayar, dong.” Alasannya.
“Ya, sudah. Saya minta dua buah. Ini uangnya!” Aku berikan selempar uang duapuluh ribu Rupiah, dan memilih dua buah durian yang menurut perkiraanku paling pas untuk dimakan siang nanti bersama teman-teman.
Inilah hasil bumi persembahan Tuhan. Setiap musim durian, penghuni kampung Cihideung desa Bantarwaru, Serang, selalu menembus kabut fajar untuk memburu durian jatuhan. Ada yang untuk dimakan, ada pula yang untuk dijual. Seperti anak-anak yang kutemui pagi ini.
Tak berapa lama, datanglah tamu yang diharapkan. Sekali transaksi, mereka berhasil menjual 3 butir durian dengan harga limabelas ribu per butir. Hebat! Cahaya matahari pagi masih lembut, udara pagi masih terasa dingin, anak-anak ini sudah menerima rezeki hasil dari usahanya sendiri. Rp.65.000,- sudah dikantong mereka!
Bocah-bocah kampung ini memiliki jiwa entrepreneur yang baik sekali. Mereka sudah memulai bisnisnya sejak matahari belum menampakkan diri. Menembus kabut, menelusuri hutan untuk mencari rezeki. Merekalah anak Indonesia yang inspiratif bagi bangsa ini. Terutama bagi remaja yang masih bermalas-malasan.
Orang-orang yang masih bertahan sebagai pengangguran mestinya mendapatkan pelajaran dari naluri bisnis bocah-bocah kampung ini. Bisa jadi di sekitar kita ada peluang usaha, namun kita tak pernah mau berpikir untuk mencarinya. Atau, bisa jadi kita masih enggan untuk bangun pagi. Kata orang tua kita dulu, kalau kita bangun kesiangan, maka rezeki kita dipatok ayam. Kita yang masih belum memiliki pekerjaan, siapkah bangun pagi seperti bocah-bocah kampung ini? [MT]

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Di dalam pribahasa Bahasa Inggris dikatakan,"Early birds cacth worms" (Burung-burung yang bangunnya pagi-pagi sekali akan mendapat cacing), artinya "Siapa yang duluan dialah yang akan mendapat, atau untuk konotasi dalam Bahasa Indonesia,Orang yang bangun cepat-cepat di pagi hari akan murah rezeki.Apa yang dilakukan anak anak tadi hendaknya menjadi pelajaran buat orang yang bermalas-malasan

4 September 2010 pukul 06.22
masud mengatakan...

Untuk mendapatkan rezeki sepantasyalah kita harus dengan melakukan aktifitas yang disebut dengan bekerja...dengan istilah menjemput rezeki dan untuk mempermudah dalam mendapatkan rezeki salah satunya dengan cara bersedekah.....

18 Desember 2010 pukul 00.46

Posting Komentar

 

2009 ·guru kehidupan by TNB