Cari

Abdul Hamid

Abdul Hamid
veteran dari kroya

Ponaryo

Ponaryo
tukang becak

Anak Jalanan

Anak Jalanan
Pengiba Rupiah

Wanti

Wanti
tukang jamu gendong

Perempuan Pinggir Pantai

Kamis, 22 April 2010

“Pokoknya tergantung kita, pak. Kalau kita salah menawarkan ke pembeli, dapatnya sedikit. Tapi biasanya kalau saya sih, lumayan. Bisa menutupi kebutuhan anak-anak.”
Bu Onah, Penjual Ikan Asin, Pantai Carita, Anyer


Karena perjalananku melintasi sepanjang Pantai Anyer, akupun memutuskan makan siang di sebuah warung makan, tepat di tepi pantai. Namanya warung Sunda Datu. Areanya cukup luas untuk parkir.  Kulihat sudah ada sebuah bis yang parkir. Berduyun-duyun penumpangnya – sepertinya mereka satu instansi atau perusahaan – turun menuju sawung-sawung yang tersedia. Tapi ternyata mereka hanya melewati sawung-sawung yang ada. Mungkin sudah tidak sabar untuk bercanda dengan desiran ombak di pantai yang landai.
Kuperhatikan juga, berduyun-duyun para pedagang mendekati rombongan tersebut. Mereka menawarkan dagangannya. Rata-rata menjual barang yang sama, ikan asin. Aku tertarik memperhatikan mereka dari sawung, sambil menikmati menu makan siang favoritku, udang goreng kremes dan tumis kangkung.
Sedang asyik makan sambil berbincang dengan temanku tentang pedagang di pantai itu, tiba-tiba datang pula tiga orang pedagang lainnya dari arah berlawanan. Terkejut juga ketika ia langsung menawarkan ikan asin.
“Berapa sebungkus?” tanyaku
“Ada yang duapuluh ribu, limabelas ribu, dan yang ini sepuluh ribuan.”
“Boleh ditawar tidak?” tanya temanku.
“Boleh, namanya juga harga.” Jawabnya.
“Yang ini sebungkus tujuhribu limaratus, saya ambil empat bungkus!” kata temanku yang paling hobi melakukan transaksi tawar menawar. Aku sering merasa tidak enak hati kalau berbelanja dengannya karena tawarannya selalu jauh dari harga yang ditawarkan. Seperti tadi, ikan asin seharga duapuluh ribu ditawarnya menjadi tujuhribu limaratus rupiah.
“Belum bisa, pak!” Jawab sang pedagang. “Kalau yang ini boleh deh.” Ia menawarkan ikan asin yang harganya sepuluhribuan. Temanku diam saja, seolah tidak berminat. Ia melanjutkan menikmati makanannya.
“Sehari bisa dapat uang berapa?” Tanyaku kepada salah seorang perempuan penjual yang sejak awal diam saja, kecuali memperhatikan temanku.
“Kalau lagi ramai bisa dapat di atas seratus ribu. Bahkan bisa sampai limaratus ribu, kalau lagi musim liburan.” Yang paling gemuk, namanya Onah, menjawab tanyaku. Sedangkan yang kutanya tetap diam saja, hanya tersenyum.
“Musim liburan itu kapan saja, bu?”
“Lebaran (Idul Fitri), Natal dan Tahun Baru. Itu yang paling ramai.” Selesai menjawabku, ia kembali menurunkan harga kepada temanku yang makin asyik dengan makanannya. Aku sudah hafal tabiatnya, ia memasang sikap tak butuh, kalau sedang menawar harga.
“Kalau liburan sekolah, ada pengaruhnya tidak?” tanyaku lagi.
“Liburan sekolah biasa saja. Anak-anak sekolah yang liburan ke pantai, tidak ada yang pernah beli ikan asin. Tapi kalau guru-gurunya, beli juga sih. Tapi jumlahnya sedikit.” Kisahnya sambil memilah ikan asin dan mulai menurunkan harga kepada temanku. Yang sedang asyik makan hanya menggelengkan kepala saja. Kupikir, tega sekali temanku ini.
“Kalau tamu rombongan seperti itu” aku menunjuk ke arah rombongan yang masih asyik bermain di pantai, “sering tidak datang ke sini?”
“Kalau rombongan begitu sih, biasanya dari perusahaan. Tapi sekarang masih berenang. Percuma ditawarin. Paling nunggu pas mereka istirahat, baru kita tawarin.” Kata bu Onah. Rupanya ia sudah berpengalaman sehingga memahami kapan saatnya menawarkan ikan asinnya kepada tamu di pantai ini. Bu Onah masih saja mendesak temanku. Kini ia menurunkan harganya menjadi sepuluh ribu asal mau ambil lima bungkus. Temanku baru menoleh.
“Pakai formalin nggak?” Tanya temanku, sebuah pertanyaan yang aku yakin sekedar menutupi perasaannya karena sudah pura-pura tak acuh.
“Kita olah sendiri, pak. Dijamin tidak pake formalin. Lihat formalin saja saya mah, belum pernah. Dijamin deh pak!” jawab bu Onah meyakinkan. Senang juga temanku bisa mendapatkan lima bungkus ikan asin dengan uang limapuluhribu rupiah saja.
“Bagaimana dengan persaingan sesama pedagang?” tanyaku sambil menikmati udang goreng yang renyah sekali.
“Kita mah semuanya kompak, pak. Tidak ada yang bersaing.” Sahut bu Onah.
“Masing-masing sudah pada tahu jatahnya. Jadi tidak merebut pembeli.” Wah, sejak awal baru kali ini pedagang yang lebih kurus bicara.
Menurut cerita mereka, pedagang ikan itu kompak. Mereka bahkan merupakan keluarga sedarah atau tetangga yang saling percaya. Berbagi rezeki dan calon pembeli, merupakan kebiasan baik mereka. Memang ada juga satu-dua orang yang serakah. Yang seperti itu biasanya tak bertahan lama. Sebab tak ada satupun yang mau menolong saat si serakah tak satupun berhasil menjual dagangannya.
“Hari ini sudah dapat berapa?” aku tanya kepada yang lainnya.
“Baru empatpuluh ribu.” Jawab yang kurus.
“Bu Onah sudah dapat berapa?” tanyaku.
“Baru yang barusan, limapuluh ribu.” Jawabnya sambil tersenyum
“Kalau sampai maghrib tak ada juga pembeli, bagaimana? Berarti hanya dapat segitu dong.”
“Dapat berapa juga disyukurin saja. Malah kemarin hanya laku satu, sepuluh ribu saja!” bu Onah sepertinya pandai menyukuri hasil usahanya. Tak ada kecewa apalagi merasa tersaingi oleh sesamanya. Karena memang segitulah rezekinya hari itu.
“Sering dapat banyak atau sedikit?” tanyaku lagi.
“Pokoknya tergantung kita, pak. Kalau kita salah menawarkan ke pembeli, dapatnya sedikit. Tapi biasanya kalau saya sih, lumayan. Bisa menutupi kebutuhan anak-anak.” Ungkap bu Onah. Mungkin yang dimaksud oleh bu Onah adalah tergantung bagaimana dia melakukan personal marketing kepada calon pembelinya.
Bisa jadi pada hari yang lain rezekinya lebih baik dari hari ini. Cara berpikir seperti itu jelas tidak membuatnya frustasi dan tetap menjalani nasib sebagai penjaja Ikan Asin. Seorang pedagang memang biasa menerima kenyataan kalau penghasilannya tidak flat seperti pegawai. Selalu mengalami pasang surut. Semua tergantung dari personal marketing yang dilakukannya terhadap semua orang yang ditemuinya.
Personal Marketing adalah kekuatan seorang pedagang ataupun sales. Seperti yang dilakukan oleh para perempuan penjaja ikan asin ini. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka membantu suami dengan berdagang keliling. Inilah wujud persamaan tanggung-jawab yang mereka pahami sebagai bakti terhadap suami. Merekalah inspiring woman yang dapat kita temui di sepanjang obyek wisata pantai Anyer. (MT)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Assalamualaikum,oya buku guru kehidupannya udah kubaca, ternyata jadi buku favoritnya ayahku lo...hehe. Thanks ya.
Oya. mas kalau ada waktu mampir dunk ke blog yang juga kuikutkan di Ispiring Woman blog detik, aku pengen minta comment n pendapat mas tentang sahabatku Ririn di tulisanku itu, gimana cara Ririn agar dapat menerbitkan bukunya, mas harus mengenal Ririn, dia sosok luar biasa, *sedikit maksa nih* btw, thanks a lot...
ini linknya....
http://indarpuri.wordpress.com/2010/05/14/ririn-a-strong-woman-after-kartini/

16 Mei 2010 pukul 07.09
MT mengatakan...

terima kasih jika bukunya bermanfaat dan menjadi kesukaan ayah. aku akan lihat soal Ririn.

16 Mei 2010 pukul 22.54

Posting Komentar

 

2009 ·guru kehidupan by TNB